Ciputat, Anak Tiri di Kota Sendiri

Tangkapan layar YouTube: LBKHMI Ciputat

MonitorUpdate.com – Hampir semua warga di wilayah Jabodetabek mengenal Tangerang Selatan (Tangsel) sebagai kota satelit yang berkembang pesat, menjadi magnet bagi kalangan urban, pusat hunian mewah, dan investasi modern.

Namun, dokumenter “Ciputat Anak Tiri Tangsel” yang dirilis LKBHMI Cabang Ciputat baru-baru ini mengingatkan kita bahwa di balik citra kota kosmopolitan, ada suara-suara sunyi yang terpinggirkan. Suara dari lorong-lorong Ciputat yang padat, panas, dan penuh sesak—tempat anak-anak tumbuh dengan luka yang tak selalu tampak.

Film dokumenter berdurasi sekitar 20 menit ini tak menampilkan narasi megah atau efek dramatis. Ia memilih cara yang sederhana tapi jujur: mendengar. Melalui potongan-potongan adegan keseharian, pengakuan masyarakat, dan perekaman suasana lingkungan, dokumenter ini menggambarkan bagaimana wilayah Ciputat, yang dahulu dikenal sebagai pusat pendidikan Islam, kini seperti menjadi “anak tiri” di rumah besar bernama Tangsel.

Kekerasan yang Membungkam

Yang paling mengguncang dalam film ini adalah isu yang selama ini jarang diangkat secara terbuka: kekerasan terhadap anak tiri. Dokumenter ini tidak hanya membicarakan anak sebagai korban kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana lingkungan dan sistem sosial cenderung diam, seolah menganggap itu sebagai bagian dari “urusan rumah tangga” yang tak boleh dicampuri.

Kita tahu, data Komnas Perlindungan Anak mencatat kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga masih tinggi setiap tahunnya, dan sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat: ayah, ayah tiri, atau ibu kandung. Dokumenter ini membuka ruang untuk menyuarakan kembali kasus-kasus yang biasanya hanya menjadi berita kriminal sesaat, tanpa ada pembenahan struktural.

Mengubah Kritik Menjadi Narasi Visual

Yang menarik, LKBHMI Ciputat tidak menyuarakan kritik dengan demonstrasi atau spanduk panjang. Mereka memilih pendekatan yang lebih strategis: visual storytelling. Kritik sosial disampaikan lewat dokumenter, menjangkau audiens yang lebih luas, dan melintasi sekat-sekat kelompok aktivis.

Ini menjadi refleksi penting. Di era digital, menyampaikan kritik bisa dan harus adaptif. Tak semua bentuk advokasi harus turun ke jalan. Terkadang, suara paling nyaring adalah yang muncul dari cerita yang jujur dan penggambaran yang menyentuh—seperti yang dilakukan film ini.

Ketimpangan Pembangunan dan Identitas Wilayah

Ciputat, yang berada di jantung Tangsel, dalam dokumenter ini digambarkan seolah terlupakan. Jalan-jalan sempit, drainase buruk, anak-anak bermain di dekat rel atau lorong gelap tanpa penerangan. Di sisi lain, kita tahu bahwa Tangsel memoles wajahnya dengan proyek-proyek prestisius: flyover, mal, hunian vertikal, kawasan bisnis. Kontras ini tak hanya menunjukkan ketimpangan ekonomi, tapi juga ketimpangan perhatian.

Apakah Ciputat sekadar menjadi nama dalam peta administratif? Atau memang sudah lama diposisikan sebagai wilayah buangan—tempat yang cukup penting untuk digunakan, tapi tidak cukup penting untuk dilindungi?

Saatnya Membangun dari Pinggiran

Film ini menantang kita semua—warga, pembuat kebijakan, dan kelompok masyarakat sipil—untuk tidak lagi menunda pembenahan sosial di daerah-daerah pinggiran. Perlindungan anak harus menjadi agenda utama, bukan sekadar program seremonial. Pemerintah kota Tangsel, dengan segala sumber daya dan dukungan politik yang dimiliki, seharusnya menaruh perhatian serius terhadap wilayah seperti Ciputat yang memiliki potensi budaya dan sejarah, namun tersandera oleh infrastruktur sosial yang timpang.

Dokumenter ini adalah alarm. Sebuah pengingat bahwa di tengah geliat kota, masih banyak suara yang belum kita dengar. Jika kita mengabaikan suara-suara kecil dari lorong Ciputat hari ini, bukan tidak mungkin kita sedang membiarkan luka sosial membesar di kemudian hari.

Akhirnya: Mendengar Sebelum Terlambat

“Ciputat Anak Tiri Tangsel” bukan sekadar film dokumenter. Ia adalah ekspresi kegelisahan kolektif. Ia bukan ajakan untuk marah, melainkan undangan untuk peduli. Ia bukan tuntutan politik, tetapi harapan sosial agar kota ini dibangun dengan rasa keadilan—mulai dari yang paling sunyi, dan yang paling dilupakan.

Saatnya Ciputat tidak lagi menjadi anak tiri. Karena kota yang baik adalah kota yang mendengar suara anak-anaknya—termasuk yang tak lahir dari keluarga utuh.

Catatan: Dokumenter lengkap dapat disaksikan di kanal YouTube LKBHMI Ciputat: https://www.youtube.com/watch?v=2ZZ34vw8dv0

(mu01)

Share this article