Puan Maharani Kritik Putusan MK soal Pemilu 2029: “Melanggar Konstitusi”

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani

MonitorUpdate.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, menyatakan keberatannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029.

Dalam pandangannya, keputusan tersebut bukan hanya bertentangan dengan semangat pemilu serentak yang telah dibangun sejak era reformasi, tetapi juga menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.

“Semua partai politik mempunyai sikap yang sama bahwa pemilu, sesuai undang-undangnya, dilakukan setiap lima tahun,” kata Puan usai Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 15 Juli 2025.

Puan menekankan bahwa amanat lima tahunan pemilu bukan sekadar teknis penyelenggaraan, tetapi bagian dari ruh demokrasi yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi. Ia menyebut keputusan MK perlu dikaji lebih dalam karena berpotensi menimbulkan implikasi hukum dan politik yang serius.

“Jadi, apa yang sudah dilakukan oleh MK menurut undang-undang menyalahi Undang-Undang Dasar,” ujarnya.

Meskipun nada kritik terdengar tegas, Puan memastikan bahwa langkah politik terhadap putusan tersebut akan tetap ditempuh dalam kerangka konstitusional. Setiap partai, lanjut dia, akan mengambil sikap sesuai dengan batas kewenangan yang dimilikinya.

“Pada saatnya nanti, kami semua partai politik akan menyikapi hal tersebut secara konstitusional,” kata politikus PDI Perjuangan itu.

Pertanyaan Besar terhadap Independensi MK

Putusan MK soal pemilu 2029 kembali memunculkan pertanyaan publik mengenai arah dan independensi lembaga peradilan tertinggi itu. Dalam beberapa bulan terakhir, MK memang menjadi sorotan karena sejumlah keputusannya yang dianggap kontroversial dan memicu perdebatan etik maupun yuridis.

Pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah dinilai banyak pihak sebagai langkah mundur dari konsolidasi demokrasi. Alih-alih memperkuat efektivitas pemerintahan, skema tersebut justru dikhawatirkan memecah fokus publik, memperbesar ongkos politik, serta membuka ruang intervensi kekuasaan yang lebih besar pada level lokal.

Sejumlah pakar hukum tata negara menyebut bahwa putusan ini bukan hanya problem prosedural, tetapi juga substansial. “Putusan MK yang mengubah desain pemilu tidak bisa dilepaskan dari tafsir politik, dan ini berbahaya jika tidak diawasi,” ujar salah satu akademisi hukum yang enggan disebut namanya.

Dengan kritik terbuka dari DPR, terutama dari pucuk pimpinannya, tekanan politik terhadap MK tampaknya akan terus menguat. Namun pada akhirnya, publik menunggu: apakah langkah-langkah berikutnya akan membawa demokrasi Indonesia kembali ke jalur reformasi, atau justru tersesat di simpang jalan konstitusi. (01MU)

 

Share this article