MonitorUpdate.com – Jelang Muktamar X PPP, dukungan terhadap Plt Ketua Umum Muhamad Mardiono tampak mengalir deras. Sebanyak 33 DPW dan DPC PPP kompak mendeklarasikan dukungan.
Namun, di balik deklarasi masif itu, muncul pertanyaan: benarkah soliditas PPP sedang terbentuk, atau sekadar ritual politik menjelang perebutan kursi ketua umum?
Panggung Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kian panas. Kamis (18/9/2025), hampir seluruh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP dari 33 provinsi mendeklarasikan dukungan kepada Pelaksana Tugas Ketua Umum Muhamad Mardiono untuk maju sebagai calon ketua umum periode 2025–2030.
Baca juga: PPP Krisis Kepemimpinan, Muktamar Diundur: Siapa Kandidat Ketua Umum Penyelamat Partai?
Deklarasi itu dibacakan dalam forum besar di Hotel Sheraton Jakarta. “Mendukung dan mengusung Bapak H. Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP masa bakti 2025–2030,” kata salah satu pimpinan DPW.
Para pengurus juga menegaskan penolakan terhadap calon ketua umum dari luar kader. “PPP tidak pernah dipimpin figur eksternal sejak berdiri tahun 1973,” bunyi pernyataan sikap mereka.
Relevansi Dukungan
Deklarasi dukungan semacam ini sejatinya bukan hal baru bagi PPP. Dalam sejumlah muktamar sebelumnya, dukungan awal kerap cair ketika peta lobi dan kepentingan politik mulai bergerak. Tak jarang, dukungan DPW dan DPC berubah haluan di menit-menit akhir.
Bagi Mardiono, deklarasi ini penting untuk memperkuat legitimasi politik setelah PPP gagal lolos ke Senayan pada Pemilu 2024. Di bawah kepemimpinannya, partai berlambang Kabah hanya meraih suara nasional sekitar 3,8 persen, di bawah ambang batas parlemen 4 persen.
Situasi ini membuat Muktamar X PPP tak sekadar soal siapa ketua umum berikutnya, tapi juga soal bagaimana partai yang pernah jadi poros politik Islam itu bisa kembali relevan dalam peta politik nasional.
Tantangan Mardiono
Dukungan 33 DPW dan DPC, jika solid hingga muktamar, bisa memuluskan langkah Mardiono menjadi ketua umum definitif. Namun, tantangan yang ia hadapi lebih besar dari sekadar mengamankan kursi pucuk pimpinan partai.
Pertama, PPP harus menjawab kekecewaan konstituen akibat kegagalan di Pemilu 2024. Kedua, partai ini harus bersaing dengan partai Islam lain yang lebih agresif merangkul generasi muda dan basis digital. Ketiga, konsolidasi internal PPP sering kali retak oleh konflik faksi yang tidak kunjung usai.
Dalam konteks itu, deklarasi dukungan bisa dibaca sebagai upaya membangun narasi soliditas, sekaligus pesan kepada publik bahwa PPP masih punya harapan untuk bangkit.
Dinamika Muktamar
Meski dukungan tampak bulat, sejarah PPP menunjukkan muktamar partai ini jarang berjalan mulus. Manuver politik, perebutan pengaruh, hingga intervensi eksternal kerap mewarnai pemilihan ketua umum.
Muktamar X pada 27–29 September mendatang bisa menjadi panggung penentu: apakah PPP akan mengukuhkan Mardiono secara aklamasi, atau justru membuka ruang kontestasi baru yang menguji seberapa jauh soliditas deklarasi kali ini.
(MU01)