MonitorUpdate.com – Di atas kertas, demokrasi Indonesia kerap dipuji. Namun, dalam praktiknya, ia rapuh, penuh korupsi, dan kehilangan integritas. Itulah nada besar yang bergema dalam Konferensi Internasional Indonesia Forum (IIF) ke-18 di Universitas Paramadina, Jakarta, 17–18 September 2025.
Forum akademik internasional kali ini kembali menyoroti wajah demokrasi Indonesia yang disebut jauh dari ideal. Bertema “Good Governance and Democracy in Indonesia”, konferensi yang digelar di Universitas Paramadina menghadirkan akademisi dari dalam dan luar negeri yang tak segan menyingkap problem mendasar demokrasi di tanah air: korupsi, kepemimpinan yang rapuh, hingga tata kelola pemerintahan yang gagal memberi teladan.
Salah satu kritik paling tajam datang dari Prof. Al Makin (UIN Sunan Kalijaga). Dalam presentasinya bertajuk “Democracy without Virtue? Corruption, Leadership, and the Loss of Integrity in Indonesia”, ia menyebut demokrasi Indonesia tengah kehilangan akarnya. “Tanpa keutamaan moral, demokrasi berubah menjadi arena kekuasaan yang hanya menguntungkan elite,” tegasnya.
Baca juga: Universitas Paramadina: Krisis Moral Pejabat Publik Ancam Demokrasi
Sorotan serupa muncul dalam panel-panel lain. Azzumar Adhitia Santika dan Ari Santoso Widodo Poespodihardjo, misalnya, secara eksplisit menantang pandangan Presiden Prabowo Subianto mengenai oposisi.
Kritik mereka menyinggung bagaimana oposisi kerap dikebiri dalam sistem politik yang katanya demokratis. Sementara Muhamad Iksan (Universitas Paramadina) menggunakan pendekatan Game Theory untuk memetakan pola korupsi politik yang, menurutnya, menjadi bagian dari logika kekuasaan itu sendiri.
Selain isu politik, konferensi juga membedah persoalan tata kelola lingkungan, migrasi, hingga komunikasi politik digital. Dian Nafiatul Awaliyah (Universitas Sultan Fatah) menyoroti lemahnya tata kelola pesisir yang membuat ekosistem rentan rusak.
Para peserta dari berbagai negara—Polandia, Jepang, Taiwan, Australia, India, hingga Norwegia—menambahkan dimensi perbandingan, menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan unik, tapi bukan berarti tanpa solusi.
Dalam penutupan, Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, menekankan bahwa dunia akademik punya tanggung jawab moral. “Diskusi ini bukan hanya refleksi, tetapi juga peringatan. Demokrasi hanya bisa kokoh bila ditopang integritas dan tata kelola yang benar,” ujarnya.
Konferensi IIF ke-18 menegaskan satu hal: demokrasi Indonesia masih jauh dari janji yang diikrarkan 25 tahun lalu setelah reformasi. Alih-alih menjadi sistem yang menyejahterakan rakyat, ia justru terjebak dalam lingkaran korupsi, kompromi, dan hilangnya oposisi yang sehat.
(MU01)