MonitorUpdate.com – Mulai 2026, Swedia resmi melarang penggunaan ponsel di seluruh sekolah. Kebijakan ini bukan main-main: pemerintah mengucurkan Rp145 miliar pada tahun pertama dan lebih dari Rp150 miliar pada 2027 demi memastikan aturan berjalan tanpa celah.
Menteri Pendidikan dan Integrasi Swedia, Simona Mohamsson, menyebut langkah ini sebagai “reformasi pendidikan terbesar dalam 30 tahun terakhir.” Aturan akan berlaku ketat, tanpa pengecualian, dan menyasar semua ruang kelas.
Baca Juga : Pemerintah Kaji Aturan Satu Orang Satu Akun Medsos, Dikaitkan dengan Satu Data Indonesia
Tren Global: Sekolah Tanpa Ponsel
Swedia bukan satu-satunya. Finlandia, Belanda, Prancis, Denmark, hingga Norwegia sudah lebih dulu membatasi atau melarang ponsel di sekolah. Dampaknya terlihat nyata: di Belanda, 75% sekolah melaporkan siswa lebih fokus, dan 28% mencatat prestasi belajar meningkat setelah larangan berlaku.
Alasannya jelas: penelitian menunjukkan distraksi digital melemahkan konsentrasi, merusak interaksi sosial, dan berdampak pada kesehatan mental siswa. Laporan UNESCO Global Education Monitoring serta data PISA menegaskan bahwa anak yang terlalu sering terdistraksi layar cenderung memiliki capaian akademik lebih rendah.
Bagaimana dengan Indonesia?
Fakta di lapangan tak kalah mengkhawatirkan. Riset Universitas Padjadjaran (2023) mencatat rata-rata penggunaan smartphone anak usia sekolah di Indonesia mencapai 6,85 jam per hari. Sebanyak 77,2% di antaranya masuk kategori adiksi sedang.
Guru, orang tua, hingga pegiat pendidikan di Indonesia kerap mengeluhkan hal serupa: anak lebih sibuk membuka TikTok ketimbang menyimak guru, atau lebih sering main game daripada membaca buku. Pertanyaannya, apakah larangan seperti di Swedia layak diterapkan di sini?
Antara Larangan dan Literasi Digital
Jika Indonesia ingin meniru, tantangannya tidak kecil. Pertama, infrastruktur sekolah masih timpang. Kedua, gawai kerap jadi alat belajar di banyak sekolah, terutama di daerah yang kekurangan fasilitas. Ketiga, budaya “longgar” dalam pengawasan bisa membuat larangan hanya jadi aturan di atas kertas.
Namun, para pakar pendidikan menilai regulasi tetap perlu. Tidak selalu berupa larangan total, tapi bisa dengan batasan jam penggunaan, kontrol ketat di kelas, hingga edukasi literasi digital.
Pada akhirnya, Swedia memilih jalur keras demi menyelamatkan fokus belajar generasi muda. Indonesia mungkin perlu pendekatan berbeda, tapi dengan urgensi yang sama: jangan sampai anak-anak lebih hafal konten viral daripada pelajaran di kelas.
(MU01)