Di Balik Hari Tani Nasional, Petani Masih Berjuang dengan Harga Panen Murah dan Irigasi Rusak

Petani Indonesia. Photo Ilustrasi
Petani Indonesia. Photo Ilustrasi

MonitorUpdate.com – Ucapan “Selamat Hari Tani Nasional” kembali ramai terdengar pada hari ini, Rabu (24/9/2025). Namun, di balik peringatan tersebut, kehidupan petani Indonesia masih jauh dari kata sejahtera.

Di sebuah desa di Tapanuli Selatan, Pak Siahaan sudah menoreh karet sejak subuh. Tangannya lengket oleh getah, punggungnya basah oleh keringat. Baginya, Hari Tani bukanlah perayaan, melainkan rutinitas kerja yang sama: menoreh, menunggu, menjual, dan berharap harga tidak anjlok.

Kisah itu mewakili kondisi banyak petani di Indonesia. Meski disebut sebagai “tulang punggung bangsa”, kehidupan mereka kerap dibayangi berbagai persoalan struktural, mulai dari konflik lahan, akses irigasi yang terbatas, hingga harga panen yang merugikan.

Baca juga: Jaga Ketahanan Pangan, Pj Gubernur Banten Tekankan Regenerasi Petani

Konflik Agraria Masih Tinggi
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 241 konflik agraria dengan luasan lebih dari 500 ribu hektare. Sebagian besar kasus melibatkan petani dan berdampak pada hilangnya mata pencaharian mereka.

“Petani masih sering menjadi korban dalam perebutan ruang hidup. Negara harus hadir menyelesaikan akar persoalan agraria,” ujar perwakilan KPA dalam laporan tahunannya.

Irigasi Rusak dan Produktivitas Menurun
Masalah infrastruktur pertanian juga menekan produktivitas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengakui bahwa lebih dari separuh jaringan irigasi di Indonesia dalam kondisi rusak dan membutuhkan rehabilitasi.

Tanpa perbaikan, petani sulit meningkatkan hasil produksi di tengah perubahan iklim yang makin tidak menentu.

Tanah Terdegradasi dan Benih Dikuasai Korporasi
Ancaman lain datang dari degradasi lahan. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan, sekitar 30 persen lahan pertanian di Indonesia terancam kehilangan kesuburan akibat penggunaan pupuk kimia berlebih.

Di sisi lain, kedaulatan benih petani makin tergerus karena pasokan benih banyak dikuasai korporasi. Hal ini membuat petani bergantung pada sistem distribusi pasar, bukan lagi pada benih lokal yang diwariskan turun-temurun.

Harga Panen Tidak Menguntungkan
Badan Pangan Nasional mencatat, kehilangan hasil panen (losses) padi mencapai 10–12 persen. Dari setiap 10 ton gabah yang dipanen, setidaknya 1 ton hilang sia-sia.

Rantai distribusi pangan yang panjang juga membuat harga gabah ditekan di tingkat petani, sementara harga beras di pasar kota justru melambung. Kondisi ini membuat kesejahteraan petani semakin tertekan.

Momentum Hari Tani
Berbagai persoalan ini menunjukkan bahwa Hari Tani Nasional bukan sekadar seremoni atau slogan. Peran petani sangat vital dalam menjaga ketahanan pangan, tetapi perhatian negara dinilai belum maksimal.

Pengamat pertanian menekankan, pemerintah perlu memberikan solusi konkret berupa akses lahan yang adil, perbaikan irigasi, penguatan kedaulatan benih, hingga jaminan harga yang layak. Tanpa langkah nyata, ucapan “Selamat Hari Tani” akan terus terdengar getir di telinga petani.

(MU01)

Share this article