KY dan MA Pecat Dua Hakim: Terbukti Terlibat Suap hingga Skandal Perselingkuhan

(Photo: Istimewa)
(Photo: Istimewa)

MonitorUpdate.com – Dua hakim dipecat dari jabatannya lewat sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang digelar Komisi Yudisial (KY) bersama Mahkamah Agung (MA) di Jakarta pekan ini.

Kasusnya berbeda, tapi sama-sama mencoreng wibawa lembaga peradilan: satu terjerat gratifikasi perkara, satu lagi karena skandal perselingkuhan dan pelecehan seksual.

Hakim IGN PRW, mantan Ketua Pengadilan Negeri Tobelo, dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun, Selasa (23/9/2025). Ia terbukti terlibat dalam pengurusan perkara di tingkat kasasi dengan nilai gratifikasi mencapai Rp 725 juta.

Baca juga: Eks Ketua PN Tobelo Dipecat dengan Hak Pensiun, Terseret Kasus Gratifikasi Rp 725 Juta

Ketua MKH, Hakim Agung Achmad Setyo Pudjoharsoyo, menyebut kasus IGN bermula dari rekomendasi Badan Pengawasan MA. Ia diduga menerima Rp 100 juta sebagai bagian dari suap terkait perkara PT Emerald Ferochromium Industry yang ditangani mantan Hakim Agung GS. Meski uang itu telah dikembalikan ke penyidik KPK, perbuatan IGN dinilai melanggar kode etik hakim.

“Perbuatan terlapor tidak mencerminkan visi dan misi MA. Oleh karena itu, majelis menguatkan rekomendasi pemberhentian,” ujar Pudjoharsoyo.

Berbeda dengan IGN, Hakim FK dari Pengadilan Negeri Jember diberhentikan tetap dengan tidak hormat pada sidang MKH, Kamis (25/9/2025).

FK dianggap melakukan pelanggaran berulang: menjalin hubungan gelap dengan beberapa perempuan, termasuk saat masih berstatus menikah, serta dilaporkan pernah melakukan pelecehan seksual.

Ketua MKH, Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah, menyebut tidak ada hal yang meringankan bagi FK. Majelis menolak seluruh bantahan yang diajukan. “Terlapor terbukti berulang kali melakukan perbuatan yang mencederai martabat hakim dan merusak nama baik lembaga peradilan,” tegas Siti.

Dua putusan etik ini menambah daftar panjang krisis integritas di tubuh peradilan. Hanya dalam satu pekan, publik disuguhi fakta bahwa hakim—yang semestinya jadi simbol keadilan—justru terjebak pada praktik suap dan perilaku asusila.

Pengamat hukum menilai, langkah KY dan MA memberi sanksi berat patut diapresiasi, namun tidak cukup. Persoalan mendasarnya adalah bagaimana mencegah hakim-hakim lain terjerumus ke lubang serupa.

“Sanksi itu perlu, tapi pembenahan sistem rekrutmen, pengawasan, dan kultur integritas jauh lebih mendesak,” ujar seorang pengajar hukum tata negara dari salah satu universitas di Jakarta.

Kini publik menunggu, apakah putusan MKH ini sekadar jadi berita sesaat, atau benar-benar jadi momentum reformasi serius di peradilan Indonesia.

(MU01)

Share this article