MonitorUpdate.com – Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kembali menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi.
Analis ekonomi politik sekaligus Co-Founder FINE Institute, Kusfiardi, mengingatkan pemerintah agar mewaspadai lonjakan beban bunga utang yang diproyeksikan mencapai Rp599,4 triliun, meningkat 8,6 persen dibanding outlook 2025.
“Beban bunga utang yang terus meningkat ini ibarat bom waktu fiskal. Hampir setara dengan total belanja pendidikan nasional. Seharusnya APBN diprioritaskan untuk pemenuhan hak-hak rakyat sebagaimana amanat konstitusi,” ujar Kusfiardi dalam keterangan tertulis, Selasa (19/8/2025).
Dalam RAPBN 2026, porsi bunga utang didominasi pembayaran kupon Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri yang mencapai Rp538,7 triliun.
Sementara bunga utang luar negeri tercatat sebesar Rp60,7 triliun. Pada saat yang sama, pemerintah tetap merencanakan penarikan utang baru hingga Rp781,9 triliun, sebagian besar melalui penerbitan SBN.
Menurut Kusfiardi, struktur pembiayaan tersebut semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah.
“Negara masuk dalam lingkaran setan utang: menerbitkan utang baru untuk membayar bunga utang lama. Dalam jangka panjang, pola seperti ini menggerus kedaulatan fiskal,” tegasnya.
Ia menilai pemerintah kurang serius dalam mencari alternatif sumber penerimaan negara. Alih-alih melakukan reformasi perpajakan dan menutup celah kebocoran penerimaan, pemerintah dinilai lebih memilih opsi cepat melalui penambahan utang.
“Potensi pajak di sektor strategis masih banyak yang bocor, termasuk praktik transfer pricing korporasi multinasional. Padahal skema penarikan utang lebih menguntungkan pemilik modal dibanding rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati,” terang Kusfiardi.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa tren kenaikan beban bunga utang secara langsung mengurangi porsi anggaran untuk belanja produktif, seperti penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, dan pembangunan infrastruktur dasar di daerah.
“Kalau kondisi ini dibiarkan, APBN hanya akan menjadi alat transfer kekayaan dari rakyat kepada kreditur,” ucapnya.
Kusfiardi pun meminta DPR, akademisi, dan masyarakat sipil lebih kritis terhadap arah kebijakan fiskal pemerintah. “Kedaulatan fiskal harus kembali ke jalur konstitusi, yakni sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk melanggengkan ketergantungan terhadap kreditur,” pungkasnya.
(MU01)