Bisnis Ramah Buruh dan Lingkungan, Realita atau Slogan? Paramadina-ILO Dorong

Universitas Paramadina bersama International Labour Organization (ILO) dan Apindo menggelar pelatihan Training of Trainers (ToT) di Jakarta, 2–3 Oktober 2025.

MonitorUpdate.com – Akademisi Turun TanganSorotan publik soal praktik bisnis yang abai pada buruh dan lingkungan belakangan makin kuat. Mulai dari kasus kerja paksa di rantai pasok tekstil, hingga polusi industri elektronik.

Dalam situasi itulah Universitas Paramadina bersama International Labour Organization (ILO) dan Apindo menggelar pelatihan Training of Trainers (ToT) bertema Perilaku Bisnis yang Bertanggung Jawab (Responsible Business Conduct/RBC) dan Pekerjaan Layak (Decent Work) di Jakarta, 2–3 Oktober 2025.

Pelatihan ini bukan hanya mengajarkan teori, tapi juga menyiapkan dosen dari berbagai universitas untuk menjadi trainer yang kelak bisa menekan perusahaan agar lebih peduli pada hak pekerja dan keberlanjutan lingkungan.

Baca Juga:Literasi Naik, Inklusi Rendah: Paramadina Dorong Mahasiswa Kenal Investasi Syariah

“Bisnis yang bertanggung jawab bukan hanya soal etika, tapi juga daya saing. Perusahaan yang menjaga hak fundamental pekerja dan lingkungan akan lebih kuat menghadapi tantangan pasar global,” kata Tauvik Muhamad, Koordinator Proyek ILO-RISSC, Kamis (2/10/2025).

Pernyataan itu terasa relevan ketika Indonesia kerap dikritik lantaran lemahnya perlindungan buruh dalam rantai pasok global. Beberapa perusahaan multinasional disebut masih melakukan praktik upah murah, diskriminasi pekerja perempuan, hingga mengabaikan standar keselamatan kerja.

Menurut Dr. Tatok D. Sudiarto, Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, keterlibatan kampus adalah bagian penting dari ekosistem perubahan.

“Mahasiswa dan masyarakat harus dibekali dengan nilai keberlanjutan, etika, dan penghormatan pada hak asasi manusia. Akademisi diharapkan bisa jadi penggerak perubahan,” ujarnya.

Selama dua hari, peserta diajarkan konsep Human Rights Due Diligence—panduan bisnis yang menghargai HAM—serta studi kasus langsung terkait praktik perusahaan. Di akhir, mereka akan mendapat sertifikasi kompetensi dari ILO.

Pelatihan ini digelar dalam jejaring kampus bersama Universitas Indonesia, Universitas Katolik Atma Jaya, dan STHI Jentera. Namun, tantangan sebenarnya adalah apakah hasil pelatihan ini mampu menekan perusahaan-perusahaan besar yang kerap hanya menjadikan etika bisnis sebagai jargon dalam laporan tahunan.

Apalagi, sejarah menunjukkan banyak kebijakan CSR atau greenwashing tak lebih dari kosmetik. Pertanyaannya: setelah akademisi dilibatkan, apakah praktik eksploitasi bisa benar-benar berubah, atau sekadar jadi wacana baru yang membungkus bisnis lama?

(MU01)

Share this article