MonitorUpdate.com – Gelombang kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) di sejumlah daerah yang mencapai ratusan hingga seribuan persen mendapat sorotan tajam dari Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza.
Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai “jalan pintas” pemerintah daerah untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Sejumlah daerah menaikkan PBB-P2 secara fantastis, dari 250 persen sampai 1.200 persen. Banyak yang beralasan ini merupakan penyesuaian sesuai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Padahal celah regulasi ini justru dimanfaatkan tanpa memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat,” kata Handi, Jumat (15/8).
Ia menjelaskan, berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU HKPD, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi dasar pengenaan PBB-P2 yang ditetapkan setiap tiga tahun. Namun untuk objek tertentu, kepala daerah diberi kewenangan menetapkan NJOP setiap tahun.
“Celah inilah yang digunakan untuk menetapkan NJOP secara sepihak tanpa konsultasi ke pemerintah di atasnya. Padahal masyarakat sedang dihimpit tekanan ekonomi,” ujarnya.
Menurut Handi, banyak pemda menjadikan PBB-P2 sebagai instrumen paling cepat untuk mendongkrak PAD, terutama karena transfer ke daerah mulai menurun dan dana bagi hasil dari sektor sumber daya alam stagnan.
“Ini memang cara paling cepat karena kewenangannya ada di daerah. Tapi efeknya bisa menimbulkan kejutan pajak (tax shock) dan memukul daya beli masyarakat, khususnya kelompok rentan dan kelas menengah bawah,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kenaikan PBB-P2 secara drastis bisa memicu penolakan publik, tunggakan pembayaran hingga gugatan hukum terhadap besarnya NJOP.
“Jika tidak dibarengi transparansi penggunaan pajak, kepercayaan publik bisa turun dan berdampak pada kepatuhan pajak secara sistemik,” tambahnya.
Handi menyebut, pemerintah daerah sebenarnya punya pilihan lain yang lebih berkelanjutan, seperti memperluas basis pajak melalui pembaruan data pajak berbasis digital, menutup kebocoran pajak, serta mengoptimalkan potensi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di sektor air bersih, energi, hingga pariwisata lokal.
“Kebijakan fiskal daerah harus fokus pada kepentingan masyarakat luas. Karena itu DPRD, Pemda dan Pemerintah Pusat perlu duduk bersama mencari solusi terbaik, bukan sekadar mengambil langkah instan,” pungkasnya. (MU01)