MonitorUpdate.com – Unik dan relevan! Webinar Universitas Paramadina membedah fenomena menarik: Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, namun masih bergelut dengan masalah korupsi.
Diskusi bertajuk “Pseudo-Spiritualitas, Religius Tapi Gemar Korupsi” ini menghadirkan para ahli untuk mengupas akar permasalahan ini.
Acara yang digelar daring pada Kamis (13/3/25) ini menghadirkan Prof. Dr. Media Zainul Bahri (UIN Jakarta), Dida Darul Ulum, M.A (Megawati Institute), dan dimoderatori Maya Fransiska, S.Ag (The Lead Institute).
Mereka membahas hipokrisi sosial yang masih membayangi Indonesia, seperti yang dikritik Mochtar Lubis.
Dr. phil. Suratno Muchoeri (Ketua The Lead Institute) mengawali diskusi dengan tajam. Ia menyebut feodalisme dan pemisahan agama dari etika sebagai akar masalah. Agama seringkali menjadi simbol, bukan pedoman moral. Ironis, bukan?
Prof. Media Zainul Bahri menambahkan, munculnya Islam Pop turut memperkuat fenomena ini. Lebih menekankan tampilan daripada substansi moral. Bahkan, tokoh agama dan pejabat yang memahami agama pun bisa terjerat korupsi.
Dida Darul Ulum menggunakan analogi Gotham City untuk menggambarkan Indonesia: religius, tetapi korupsi merajalela. Ia membedakan religion (kepercayaan) dan religiosity (perilaku). Iman tanpa tindakan nyata, belumlah cukup.
Ia menunjuk tiga faktor utama: struktur pemerintahan yang koruptif, budaya permisif, dan sikap apatis masyarakat. “Kesalehan personal harus ditransformasikan ke kesalehan sosial. Kita perlu keteladanan. Kesederhanaan itu bukan gimmick,” kata Dida.
Para ahli sepakat, agama jangan hanya dilihat sebagai ritual, tetapi juga sebagai landasan moral. Keteladanan pemimpin dan tokoh agama sangat penting.
Transparansi, akuntabilitas, dan pendidikan karakter juga krusial untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Webinar ini memberikan perspektif segar dan penting untuk direnungkan.
Mari kita renungkan bersama, bagaimana kita dapat menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik.
(red/mu01)