Jejak Pupuk Palsu dari Boyolali: Ratusan Ton Tiap Bulan, Lima Tahun Tak Terendus

Jejak Pupuk Palsu dari Boyolali

MonitorUpdate.com – Selama lima tahun, sebuah pabrik di Boyolali, Jawa Tengah, memproduksi pupuk palsu dalam skala industri—tanpa pernah benar-benar terdeteksi otoritas. CV SAYAP ECP, nama perusahaan itu, memproduksi tujuh merek pupuk yang beredar luas di pasar pertanian Jawa Tengah, termasuk di Sragen, Klaten, dan sekitarnya.

Kasus ini baru mencuat setelah petani di Sragen melaporkan kejanggalan pada pupuk yang mereka beli. Tanaman tak tumbuh maksimal, meski dosis dan pola tanam tak berubah. Laporan itu menggerakkan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah untuk turun tangan.

“Kami lakukan penelusuran dari hilir, dari pasar dan petani. Dari sana kami temukan sumber produksinya di Boyolali,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, Komisaris Besar Arif Budiman, Kamis, 10 Juli 2025.

Pabrik tersebut memproduksi merek-merek seperti Enviro NKCL, Enviro Phospat, Spartan NPK, hingga Spartan SP-36. Menurut Arif, perusahaan ini mengantongi izin usaha dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Namun hasil uji laboratorium menunjukkan komposisi produk tak sesuai label.

“Yang mereka jual tidak sesuai kandungan yang diklaim. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini penipuan sistematis,” kata Arif.

Hasil investigasi mengungkap bahwa pabrik itu memproduksi antara 260 hingga 400 ton pupuk palsu setiap bulan. Dari penjualan itu, keuntungan per bulan diperkirakan mencapai Rp 250 juta. Produk diedarkan melalui jalur distribusi biasa, menyaru sebagai pupuk sah yang telah tersertifikasi.

Kepolisian menetapkan Direktur CV SAYAP ECP, Totok Sularto, sebagai tersangka. Ia dijerat Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana lima tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar.

Namun kasus ini memunculkan pertanyaan lebih besar: bagaimana sistem pengawasan pertanian dan distribusi pupuk bisa kecolongan selama lima tahun? Lembaga seperti Dinas Pertanian dan instansi sertifikasi seakan kehilangan kendali terhadap rantai produksi pupuk non-subsidi.

“Ini menandakan ada lubang besar dalam sistem kontrol distribusi pupuk di daerah,” kata seorang pejabat Balai Pengawasan Mutu yang enggan disebut namanya. “Jika produk bersertifikat bisa sedemikian mudah dimanipulasi, petani jelas jadi korban.”

Pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada, Suryo Atmojo, menilai kasus ini bukan sekadar kriminalitas ekonomi, melainkan bentuk pembiaran sistemik. “Ketika kualitas pupuk tak sesuai, hasil panen terganggu, pendapatan petani tergerus. Dampaknya bukan pada angka, tapi ketahanan pangan.”

Pemerintah pusat dan daerah kini didesak untuk mengevaluasi total sistem sertifikasi, pengawasan distribusi, serta memperkuat pengaduan berbasis petani. Sebab jika tak ditangani serius, praktik serupa bisa terus berulang, dan kepercayaan petani terhadap sistem distribusi pupuk nasional bisa runtuh. (01MU)

Share this article