MonitorUpdate.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan komitmennya menutup celah konflik kepentingan di lembaga publik melalui kajian mendalam soal rangkap jabatan.
Data lama yang dirilis bersama Ombudsman menunjukkan problem serius: hampir separuh komisaris BUMN tak sesuai kompetensi, sementara sepertiga lainnya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris BUMN maupun swasta, serta pimpinan organisasi yang didanai APBN/APBD, disebut KPK sebagai momentum penting memperkuat tata kelola publik.
Baca juga: KPK Pastikan Ustaz Khalid Basalamah Kembalikan Uang Jamaah Terkait Kasus Kuota Haji
Plt Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Aminudin, menegaskan rata-rata kasus korupsi di Indonesia bermula dari benturan kepentingan. “Kami berharap kajian ini menjadi landasan reformasi tata kelola publik yang lebih kuat,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/9/2025).
KPK saat ini tengah melakukan kajian bertajuk Rangkap Jabatan Terhadap Integritas dan Tata Kelola Lembaga Publik di Indonesia. Studi tersebut berlangsung sejak Juni 2025 hingga 2026 dengan fokus pada 10 lembaga publik.
Kajian dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, serta melibatkan Kementerian PANRB, Ombudsman RI, Kementerian BUMN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), akademisi, hingga pakar tata kelola.
Data KPK bersama Ombudsman pada 2020 memperlihatkan dari 397 komisaris BUMN dan 167 komisaris anak perusahaan, 49 persen tidak sesuai dengan kompetensi teknis. Selain itu, 32 persen di antaranya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kondisi ini dinilai mencerminkan lemahnya pengawasan, rendahnya profesionalitas, serta risiko rangkap pendapatan yang mencederai rasa keadilan publik.
Untuk menutup celah tersebut, KPK menyiapkan lima rekomendasi kebijakan. Pertama, mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang tegas mengatur definisi, ruang lingkup, larangan jabatan, dan sanksi rangkap jabatan. Kedua, sinkronisasi regulasi dengan UU BUMN, UU Pelayanan Publik, UU ASN, serta UU Administrasi Pemerintahan.
Ketiga, reformasi sistem remunerasi pejabat publik melalui gaji tunggal (single salary) untuk menghapus peluang pendapatan ganda. Keempat, pembentukan komite remunerasi independen di BUMN maupun lembaga publik guna menjaga transparansi dan keadilan kompensasi.
Kelima, penyusunan SOP investigasi konflik kepentingan sesuai standar OECD, yang wajib diterapkan oleh Inspektorat maupun Satuan Pengawasan Internal (SPI) di BUMN.
Kajian ini juga melibatkan pemangku kepentingan dari ASN, TNI, Polri, hingga pakar etika pemerintahan, integritas publik, serta kebijakan publik.
Hasilnya diharapkan bukan hanya memetakan masalah, tetapi juga menghadirkan rekomendasi konkret untuk memperkuat sistem, etika, dan profesionalitas pejabat publik agar praktik rangkap jabatan tidak lagi menjadi pintu masuk korupsi.
(MU01)