MonitorUpdate.com – Sekitar 50 pemuda lintas iman dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Jakarta, Minggu (14/9/ 2025). Mereka datang bukan sekadar untuk berdialog, melainkan merumuskan gerakan baru: menyatukan sains dan spiritualitas demi menyelamatkan hutan tropis dan membela hak-hak masyarakat adat.
Pertemuan ini menjadi momentum peluncuran Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia Youth Chapter, yang digelar di Ruang Berkarya, Perpustakaan Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Peserta terdiri dari aktivis lingkungan, mahasiswa, komunitas adat, serta perwakilan lintas agama. Fasilitator Nasional IRI Indonesia, Dr. Hayu Prabowo, menegaskan krisis iklim menuntut kolaborasi lintas batas.
Baca juga: Pemuka Agama Didorong Jadi Ujung Tombak Pelestarian Hutan Tropis
“Menjaga hutan tropis bukan sekadar urusan ekologi, tapi juga amanah spiritual. Kolaborasi lintas iman membangun gerakan moral sekaligus ekologis yang berkeadilan,” ujarnya.
Senada, Ketua Presidium Interfaith Youth, Faiza Fauziyah, menyebut lingkungan hidup sebagai tanggung jawab bersama umat beragama.
“Alam adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga. Pemuda lintas iman punya kekuatan moral untuk mengubah kepedulian menjadi gerakan nyata yang melampaui batas-batas agama,” katanya.
Dalam sesi dialog strategis, sejumlah tokoh menekankan pentingnya keterlibatan pemuda pada berbagai aspek. Juliarta Ottay, Ketua Mandala Katalika (MANKA), mengingatkan perlunya tata kelola NGO kehutanan yang bersih dan transparan. Sementara aktivis GreenFaith Indonesia, Parid Ridwanuddin, menekankan harmoni antara sains dan spiritualitas.
“Ilmu pengetahuan memberi data, iman memberi makna. Jika keduanya dipadukan, pemuda bisa memimpin gerakan penyelamatan hutan yang lebih menyentuh hati masyarakat,” jelas Parid.
Dari perspektif masyarakat adat, Veni Siregar dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan peran pemuda dalam memperjuangkan hak adat.
“Masyarakat adat sudah berabad-abad menjaga hutan. Tugas pemuda adalah berdiri bersama mereka, memperkuat solidaritas lintas generasi, dan memastikan hak-hak adat dilindungi negara,” katanya.
Tak hanya berbicara soal nilai moral, forum ini juga menampilkan sisi praktis lewat pemanfaatan teknologi. Romadhon Arribath dari IRI Indonesia memperkenalkan aplikasi iklim dari BMKG dan sistem penginderaan jauh dari BRIN.
“Data sains memberi landasan kuat untuk aksi nyata pemuda. Teknologi bisa jadi senjata dalam advokasi lingkungan,” tuturnya.
Pertemuan ditutup dengan penyusunan rekomendasi konkret berupa tiga langkah utama: edukasi, aksi, dan advokasi. Salah satu fasilitator, Ernisa Nainggolan, menegaskan bahwa pemuda lintas iman harus menjadi motor perubahan.
“Dengan literasi ekologi yang kuat, aksi nyata di komunitas, dan strategi advokasi yang terintegrasi, mereka dapat menghadirkan solusi berkeadilan bagi hutan tropis sekaligus masyarakat adat,” ujarnya.
Rekomendasi itu mencakup program edukasi ekologi berbasis rumah ibadah, kampanye publik ramah lingkungan, hingga jejaring advokasi pemuda di tingkat nasional dan internasional.
(MU01)