Proyek Laptop Rp9,9 Triliun Diduga Sarat Masalah, Ombudsman: Ini Maladministrasi dari Hulu ke Hilir

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika

MonitorUpdate.com – Ombudsman Republik Indonesia mengungkap sederet dugaan kegagalan sistemik dalam pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sektor pendidikan. Temuan ini mencuat usai kasus pengadaan laptop senilai hampir Rp9,9 triliun oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) diselidiki Kejaksaan Agung.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menilai bahwa proyek pengadaan laptop yang dibiayai DAK Fisik tahun anggaran 2021 bukan hanya perkara hukum, tetapi cerminan amburadulnya perencanaan dan tata kelola kebijakan publik di sektor pendidikan.

“Barang publik tak boleh hanya jadi proyek serapan anggaran. Harus menjadi instrumen peningkatan layanan. Negara tak boleh abai pada prinsip dasar pelayanan publik,” tegas Yeka, Jumat (13/6/25), di Jakarta.

Yeka menyebut proyek pengadaan laptop tersebut sarat maladministrasi dari hulu ke hilir—dimulai dari perencanaan tanpa melibatkan satuan pendidikan dan pemerintah daerah, hingga pengiriman perangkat ke sekolah yang bahkan belum memiliki listrik dan jaringan internet.

Lebih lanjut, Ombudsman mengungkap bahwa sebagian besar ketentuan dalam PMK Nomor 130/PMK.07/2019 dan PMK 198/PMK.07/2021 tidak dijalankan. Proses usulan dari daerah diabaikan, pengadaan tidak berdasarkan rencana kegiatan daerah, dan verifikasi kesiapan penerima juga tidak dilakukan.

Dugaan Pengondisian Pengadaan Barang

Dalam proses pengadaan melalui e-Katalog LKPP, Ombudsman juga menyoroti indikasi kuat adanya pengondisian spesifikasi teknis—yakni hanya mengakomodasi sistem operasi tertentu (Chrome OS). Hal ini membuka potensi praktik diskriminatif dan tidak sehat dalam persaingan penyedia barang/jasa pemerintah.

“Rekomendasi internal yang menyatakan Chromebook belum sesuai kebutuhan satuan pendidikan justru diabaikan. Ini bentuk penyalahgunaan wewenang,” ujar Yeka.

Tak hanya soal teknis pengadaan, Yeka mengingatkan bahwa kebijakan yang buruk di sektor pendidikan berdampak besar pada masyarakat. Saat ini, Indonesia tengah menghadapi risiko lebih dari 3 juta anak putus sekolah karena terbatasnya akses pendidikan yang layak.

“Ini alarm keras. Pelayanan publik di sektor pendidikan sedang dalam kondisi rawan, tertekan anggaran dan rentan penyimpangan,” kata Yeka.

Desakan Evaluasi Total Tata Kelola DAK Fisik

Ombudsman RI mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola DAK Fisik, khususnya dalam bidang pendidikan. Setiap anggaran, menurut Yeka, harus berbasis kebutuhan nyata, partisipatif, efisien, dan transparan.

“Saat banyak pembangunan sekolah ditunda karena efisiensi anggaran, negara justru gagal memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar bermanfaat untuk rakyat,” tegasnya.

Kasus ini, lanjutnya, menjadi pelajaran penting bahwa perencanaan hingga pelaporan penggunaan anggaran harus memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas tinggi.

“DAK Fisik harus kembali pada tujuan utamanya: menjawab persoalan akses pendidikan. Bukan proyek asal serap anggaran,” tutup Yeka. (MU01)

Share this article