MonitorUpdate.com – Ruang Auditorium Kasman Singodimedjo, Ciputat, akhir pekan lalu bukan sekadar arena ujian. Dari sana, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) kembali melahirkan jurnalis-jurnalis “kompeten” hasil Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Angkatan ke-17.
Namun di balik semangat menjaga marwah profesi, pertanyaan kritis muncul: sejauh mana sertifikasi ini mampu menjawab tantangan derasnya arus media abal-abal di era digital?
INDOPOSCO dan Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Universitas Muhammadiyah Jakarta (LUKW UMJ) resmi menutup UKW ke-17 pada Minggu (5/10/2025). Sebanyak puluhan peserta dinyatakan kompeten. Ketua Penguji, Dr. Asep Setiawan, M.A., menyebut hal ini sebagai kabar baik bagi dunia pers. “Semoga semua peserta UKW ini menjadi kader jurnalis yang mengembalikan kejayaan pers Indonesia,” ujarnya.
Namun, di luar ruang ujian, problem pers nasional masih berlapis. Meski ribuan wartawan sudah “kompeten” versi Dewan Pers, hoaks, clickbait murahan, dan media tanpa badan hukum tetap marak. Lalu, apakah UKW cukup menjadi benteng?
Plt. Direktur Utama INDOPOSCO, Juni Armanto, yang hadir menutup acara, menyebut jurnalisme sebagai ladang ibadah. Ia bahkan menekankan pentingnya panggilan hati. “Cintai jurnalistik bukan hanya karena pendapatan, tapi karena panggilan hati. Kalau niatnya lurus, menulis berita bisa jadi amal ibadah,” katanya.
Pesan moral ini tentu penting, tetapi dunia pers saat ini juga menghadapi persoalan lebih nyata: tekanan ekonomi, intervensi politik, hingga ancaman AI yang menggerus ruang kerja wartawan.
Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah, Dr. Roni Tabroni, mengingatkan bahwa LUKW UMJ sudah konsisten menyelenggarakan UKW sejak 2020, bahkan di masa pandemi. Ia menyebut lembaganya kini menyiapkan Training of Trainer (ToT) untuk melahirkan penguji baru.
Konsistensi ini patut diapresiasi. Namun, lagi-lagi, persoalan mendasar bukan hanya seberapa banyak wartawan dilabeli “kompeten”, melainkan bagaimana kompetensi itu benar-benar dijalankan di lapangan.
Kita tahu, label kompeten tak serta merta menjamin independensi wartawan. Banyak yang lulus UKW, tetapi tetap terjebak dalam pola kerja media yang mengejar klik, tunduk pada pemilik modal, atau tak mampu bertahan karena rendahnya upah.
Dewan Pers kerap menyebut UKW sebagai instrumen menjaga standar. Tapi realitasnya, publik justru makin sulit membedakan mana media sungguhan dan mana sekadar portal abal-abal. Apalagi, literasi digital masyarakat masih rendah, sementara algoritma media sosial mendorong berita cepat, sensasional, dan sering kali tanpa verifikasi.
UKW UMJ ke-17 ini, dengan seluruh peserta dinyatakan kompeten, bisa dibaca sebagai upaya menjaga barikade. Namun, barikade itu akan rapuh jika tidak diiringi reformasi lebih luas: kesejahteraan wartawan, kebebasan redaksi dari intervensi, dan penegakan hukum bagi media ilegal.
Tanpa itu semua, UKW berisiko hanya menjadi seremoni lima tahunan—sertifikat terbingkai yang indah di dinding, tetapi tak berdaya menghadapi realitas keras industri media digital.
(MU01)